Suatu malam seorang kawan bertanya padaku, “Dek Rya
cita-citanya apa?”. Aku bingung, cita-citaku? Apa ya? Sesaat itu aq merasa
bodoh sekali, masak aq gak punya cita-cita? Lalu aq hidup untuk apa?
Waktu kecil, ketika seorang anak ditanya oleh guru atau
orangtua mereka tentang cita-cita, biasanya jawaban yang muncul adalah ingin
menjadi dokter, polisi, perawat, insinyur, guru, pilot, arsitek, penulis,
pelukis, dan semacamnya. Sebuah profesi.
Begitupun aq, waktu kecil cita2ku adalah menjadi seorang
guru. Terinspirasi oleh guru2ku yang mengajar dengan sepenuh hati, memampukanku
untuk membaca dan menulis, mengetahui banyak hal, dll. Menginjak remaja, cita2
itu tetap tidak berubah. Hanya saja aku tidak ingin menjadikan ‘guru’ itu
sebagai profesi, makanya aku g’ mau mendaftarkan diri ke Unesa. Alasannya,
beberapa guru ada yang pernah mengeluhkan minimnya gaji mereka, mengeluhkan
banyaknya pekerjaan mereka, padahal otak luguku sampai saat itu mengatakan
bahwa seorang guru itu adalah pahlawan yang tulus, tak peduli apakah mereka
akan dihargai atau tidak. Lalu pikirku, aku tetap bisa menjadi guru meskipun
aku tidak berada di depan kelas.
Jika cita-cita adalah seperti itu, mengarah pada sebuah
profesi, lalu apakah berarti jika telah tercapai maka semuanya selesai? Kenyataannya,
semakin beranjak dewasa manusia akan semakin meningkatkan level GOAL mereka. Kecuali
sebagian orang yang mungkin sudah merasa nyaman dengan pencapaian yang telah
mereka cita-citakan. Atau bahkan sebaliknya, untuk sebagian yang lain justru
malah menurunkan level cita2 mereka lantaran merasa tak mampu atau malas
memampukan diri. Apapun, setidak2nya mereka punya sesuatu untuk dituju.
Manusia tanpa cita-cita, untuk apa dia hidup? Padahal Allah
mengaruniai panca indera untuk disyukuri, otak untuk berfikir, alam untuk
dipelajari, serta segala nikmatNya yang tersebar di muka bumi untuk dimanfaatkan
secara adil. Termasuk juga Allah memperdampingkan kita dengan kaum dhuafa untuk
dicintai, serta diadakanNya bencana, musibah, dan masalah untuk muhasabah diri.
Dengan itu semua, kelak manusia akan dimintai pertanggungjawaban :
“Tidak akan bergeser
kaki seorang hamba sehingga di tanyakan padanya tentang 4 hal: Tentang umurnya
untuk apa dia habiskan, tentang masa mudanya untuk apa dia gunakan, tentang
ilmunya apakah dia beramal dengannya, dan tentang hartanya darimana dia
dapatkan dan kemana dia belanjakan”. (HR. Tirmidzi)
“Gak ada mbak, yang kupunya cuma visi dan misi ^_^”. Jawabku
kala itu. Bedanya apa ya antara visi misi dan cita-cita? Aq lebih mudah
menjawab ketika kusebutkan rencana ke depanq adalah visi dan misi daripada
sebagai sebuah cita-cita. Sebab goal terbesarku yang kuanggap sebagai visi
adalah khusnul khotimah. Lalu masak aku harus bilang bahwa cita2ku adalah
khusnul khotimah? Makanya aku lebih mudah membahasakannya sebagai sebuah visi
dan misi, dimana dalam misi itu aku bebas menentukan step demi step yang akan
kulakukan untuk mensukseskan visi terbesar itu.
Hmmm… apapun jalannya, Allah Ghoyyatuna!!!!
“Tidaklah Aku menciptakan jin dan manusia melainkan agar mereka beribadah kepada-Ku.” (QS. Adz-Dzariyaat [51]: 56)